ONNO W. PURBO
onnowidodopurbo |
BIOGRAFI
Bicara tentang kemajuan teknologi seolah tak
pernah lepas dengan seorang pakar kelahiran Bandung, 17 Agustus 1962, Onno W.
Purbo.
Namanya yang populer dengan serangkaian prestasi gemilang, karya, dan banyak penghargaan seringkali menghiasi laman-laman media baik cetak, online, maupun TV. Onno -begitu ia disapa- merupakan wisudawan terbaik Teknik Elektro ITB pada tahun 1987 yang kemudian melanjutkan studi magister dan doktoral di McMaster University, Kanada dan Universitas Waterloo, Kanada.
Pelopor dunia IT yang menggagas program RT/ RW-Net ini adalah orang yang berjasa dengan adanya internet di Indonesia. Kiprahnya di dunia teknologi sudah tidak diragukan lagi. Pria yang senang berbagi ilmu untuk mencerdaskan bangsa dalam dunia IT ini banyak berpihak pada kesejahteraan masyarakat kecil sesuai ajaran yang diajarkan ayahnya, Hasan Poerbo, seorang Professor bidang lingkungan hidup ITB.
Sebagai seorang pendidik, Onno memiliki impian besar mewujudkan gateway internet pendidikan yang bisa mengaitkan berbagai lembaga pendidikan yang ada. Kebetulan ITB masuk ke dalam jaringan kerja Asia Internet Interconnection Intiatives (AI3) Project yang bermarkas di Jepang. Proyek ini dimotori oleh dua samurai internet yakni Jun Murai, pelopor internet pendidikan di Jepang yang menyandang gelar profesor doktor, serta Suguru Yamaguchi, ilmuwan muda berusia 30 tahun, juga seorang profesor doktor. Yamaguchi adalah pemimpin langsung AI3.
Onno senang, sebab satuan tugas AI3 ITB, yang dipimpin ketua Lembaga Penelitian ITB Prof. Widiadnyana Merati, mendapat dukungan penuh sivitas akademika hingga timnya dapat bekerja lebih leluasa tanpa gangguan birokrasi ini-itu. Kelak, ITB akhirnya mampu mewujudkan gateway pada kecepatan 2 Mbps, selain memasang serat fiber optik sepanjang 11 kilometer, yang mengikat kawasan kampus menjadi sebuah kesatuan. Warga ITB bisa menikmati internet dengan harga super hemat: Rp 10 ribu per bulan.
Ia juga memprakarsai pendirian Computer Network Research Group (CNRG) pada 1994. Di awal tahun 1999, ketika Onno mengepalai Perpustakaan Pusat ITB, ia membawa sempalan eksponen CNRG untuk mengembangkan pengelolaan perpustakaan di Knowledge Management Research Group (KMRG). Hasilnya, Digital Library & Library Network terbentuk. Jaringan ini merangkaikan sedikitnya 20 unit perpustakaan di seluruh Indonesia.
Keseharian pria yang sempat diberitakan menjadi kandidat Menteri Telekomunikasi oleh presiden SBY ini adalah menulis artikel dan puluhan buku yang bisa diunduh secara gratis oleh banyak orang. Ia lebih memilih jalur independen dibandingkan terikat dengan suatu perusahaan atau instansi. Kini, ia lebih menikmati dikejar-kejar deadline oleh media atas artikelnya dan organizer untuk mengisi workshop, konferensi, dan seminar bidang teknologi.
Namanya yang populer dengan serangkaian prestasi gemilang, karya, dan banyak penghargaan seringkali menghiasi laman-laman media baik cetak, online, maupun TV. Onno -begitu ia disapa- merupakan wisudawan terbaik Teknik Elektro ITB pada tahun 1987 yang kemudian melanjutkan studi magister dan doktoral di McMaster University, Kanada dan Universitas Waterloo, Kanada.
Pelopor dunia IT yang menggagas program RT/ RW-Net ini adalah orang yang berjasa dengan adanya internet di Indonesia. Kiprahnya di dunia teknologi sudah tidak diragukan lagi. Pria yang senang berbagi ilmu untuk mencerdaskan bangsa dalam dunia IT ini banyak berpihak pada kesejahteraan masyarakat kecil sesuai ajaran yang diajarkan ayahnya, Hasan Poerbo, seorang Professor bidang lingkungan hidup ITB.
Sebagai seorang pendidik, Onno memiliki impian besar mewujudkan gateway internet pendidikan yang bisa mengaitkan berbagai lembaga pendidikan yang ada. Kebetulan ITB masuk ke dalam jaringan kerja Asia Internet Interconnection Intiatives (AI3) Project yang bermarkas di Jepang. Proyek ini dimotori oleh dua samurai internet yakni Jun Murai, pelopor internet pendidikan di Jepang yang menyandang gelar profesor doktor, serta Suguru Yamaguchi, ilmuwan muda berusia 30 tahun, juga seorang profesor doktor. Yamaguchi adalah pemimpin langsung AI3.
Onno senang, sebab satuan tugas AI3 ITB, yang dipimpin ketua Lembaga Penelitian ITB Prof. Widiadnyana Merati, mendapat dukungan penuh sivitas akademika hingga timnya dapat bekerja lebih leluasa tanpa gangguan birokrasi ini-itu. Kelak, ITB akhirnya mampu mewujudkan gateway pada kecepatan 2 Mbps, selain memasang serat fiber optik sepanjang 11 kilometer, yang mengikat kawasan kampus menjadi sebuah kesatuan. Warga ITB bisa menikmati internet dengan harga super hemat: Rp 10 ribu per bulan.
Ia juga memprakarsai pendirian Computer Network Research Group (CNRG) pada 1994. Di awal tahun 1999, ketika Onno mengepalai Perpustakaan Pusat ITB, ia membawa sempalan eksponen CNRG untuk mengembangkan pengelolaan perpustakaan di Knowledge Management Research Group (KMRG). Hasilnya, Digital Library & Library Network terbentuk. Jaringan ini merangkaikan sedikitnya 20 unit perpustakaan di seluruh Indonesia.
Keseharian pria yang sempat diberitakan menjadi kandidat Menteri Telekomunikasi oleh presiden SBY ini adalah menulis artikel dan puluhan buku yang bisa diunduh secara gratis oleh banyak orang. Ia lebih memilih jalur independen dibandingkan terikat dengan suatu perusahaan atau instansi. Kini, ia lebih menikmati dikejar-kejar deadline oleh media atas artikelnya dan organizer untuk mengisi workshop, konferensi, dan seminar bidang teknologi.
PENDIDIKAN
·
Jurusan Teknik Elektro 1981
·
Beasiswa Phd di Kanada
KARIR
·
Pendidik Guru-guru di daerah tertinggal
melalui STKIP Surya.
·
Penulis Teknologi Informasi
·
Pegawai Negeri Sipil sebagai Dosen Institut
Teknologi Bandung, diberhentikan dengan hormat terhitung sejak Februari 2000
PENGHARGAAN
·
2010, Anugrah "Tasrif Award" dari Aliansi
Jurnalis Independen (AJI)
·
2009, Anugrah "Competency Award
2009" dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
·
2009, Anugrah "TIRTO ADHI SOERJO"
kategori Pelopor / Pemulai, dari [I:BOEKOE]
·
2009, Indigo Fellow: Digital Community
Fellow, dari PT. Telekomunikasi Indonesia
·
2008, Menerima Gelar "Pahlawan Generasi
Masa Kini" dari Modernisator
·
2008, Masuk dalam buku "Indonesia 100
Innovators", Business Innovation Center
·
2008, Menerima "IGOS Summit 2
Award", dari MENKOMINFO "Atas Semangat dan Perjuangan menyebarluaskan
pemanfaatan Open Source di Indonesia
·
2008, Menerima "Gadget Award Exclusive
Appreciation", dari Majalah Gadget
·
2005, Ashoka Senior Fellow, dari Ashoka
(Amerika Serikat)
·
2003, Sabbatical Award, dari International
Development Research Center (IDRC) (Kanada)
·
2002, Eisenhower Fellow, dari Eisenhower
Fellowship (Amerika Serikat)
·
2000, Award for Indonesian Internet Figure,
KADIN Telematika Award
·
2000, Masuk dalam buku "Indonesia Abad
XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global", Editor Ninok Leksono, KOMPAS
·
1997, Menerima “ASEAN Outstanding Engineering
Achievement Award”, dari ASEAN Federation of Engineering Organization (AFEO)
·
1996, Menerima "Adhicipta
Rekayasa", dari Persatuan Insinyur Indonesia
·
1994, Profil Peneliti, KOMPAS 26 Desember
1994
·
1992, Masuk dalam buku "American Men and
Women of Science", R.R.Bowker, New York (Amerika Serikat)
·
1987, Lulusan Terbaik, Jurusan Teknik
Elektro, Institut Teknologi Bandung.
Hidup harus bermanfaat untuk orang lain.
Inilah prinsip hidup sosok pria sederhana yang dikenal sebagai Pakar Internet
Indonesia. Tidak heran bila dengan pengetahuan yang dimiliki, sebagian hidupnya
diabdikan untuk mencerdaskan bangsa dengan karya-karyanya yang inovatif,
seperti Wajanbolic yang sekarang ini menjadi solusi banyak orang di pelosok
desa untuk bisa terkoneksi internet dengan baik dan murah.
ONNO WIDODO PURBO atau lebih dikenal dengan
sebutan Kang Onno W. Purbo, demikian tokoh teknologi informasi (TI) nasional
yang nama namanya disebut-sebut selalu berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil
ini. Dengan kreatif, ia selalu berupaya mengembangkan solusi-solusi untuk
menciptakan layanan internet dan telekomunikasi menjadi lebih murah untuk
rakyat. Onno pernah menggagas RT/RW-Net dan penerapan Open Base
Transceiver Station (BTS) serta membuat karya bernama Wajanbolic.
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat buat orang lain,” ujar lulusan Tehnik Elektro, Institut Teknologi
Bandung (ITB) ini mengutip salah satu hadist yang menjadi inspirasinya untuk
berbagi ilmunya dengan orang lain. “Jadi buat apa kaya, pintar, punya jabatan
tinggi kalau tidak bermanfaat untuk orang lain?” lanjutnya.
Memahami hal tersebut, Onno lebih memilih
berkiprah di dunia TI di jalur independen dibandingkan terikat dengan
perusahaan ataupun instansi. Bahkan saat banyak tawaran untuk menjadi
konsultan, tetap ditolaknya. Dirinya lebih memilih untuk tetap
menjadi guru, sebagai upaya untuk mencerdaskan bangsa ini dengan ilmu yang
dimilikinya.
“Belasan tahun lalu saya sempat dikumpulkan
dengan dosen ITB lainnya di suatu ruangan. Saat itu kami semua ditanya oleh
pengajar senior, Bapak Prof. Samaun Samadikun, tentang cita-cita kami. Semua
dosen di ruangan tersebut menjawab ingin menjadi industriawan dan hanya saya
satu-satunya yang menjawab ingin menjadi guru alias pendidik,” ujar bapak dari
enam anak ini bercerita.
Saat mengundurkan diri mengajar di ITB tahun
2000, dirinya tetap mendidik melalui, seminar, workshop, artikel maupun buku
yang ditulisnya yang dapat diunduh secara gratis. Kecintaannya terhadap profesi
guru ini tetap ditekuninya hingga kini. Pada 2011, Onno sempat bergabung
mengajar di Sekolah Tinggi Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya yang
secara khusus mengajar dan mendidik para guru yang berasal dari daerah Papua,
NTT, Bengkulu dan Kepulauan Riau.
Salah satu yang digaunginya dalam memberikan
pendidikan adalah teknologi Open BTS yang dianggapnya mampu menjadi solusi
murah telekomunikasi di tanah air dan solusi ini bisa segera mengatasi
permasalahan telekomunikasi yang belum tersebar ke pelosok-pelosok daerah yang
selama ini terhambat karena infrastrukturnya mahal dan dari sisi operator
sendiri enggan membangun karena dianggap tidak menguntungkan.
“Bayangkan bila BTS selular 60 watt buatan
Siemen Nokia dihargai antara Rp.500juta-Rp.1,5 milyar dengan Open BTS yang
hanya membutuhkan Rp.150 juta sudah termasuk sentral telephon. Seharusnya Open
BTS ini bisa dijadikan jalan keluar untuk telekomunikasi yang murah untuk
rakyat. Namun kembali lagi ke pemerintahnya, mau tidak menerapkan ini?”
Dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos,
lulusan McMaster University, Kanada dan penyandang gelar Ph.D dari Universitas
Waterloo ini menganggap pemerintah masih belum berpihak pada rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar